Monday, July 4, 2011

Cahaya, Makhluk Takberumur

Ada satu benda di dunia ini, yang sudah ada semenjak alam semesta lahir, tapi tidak berumur. Itulah foton, atau partikel cahaya. Bagaimana mungkin? Mari kita telaah dengan teori relativitas khusus Einstein.

Begitu mendengar teori relativitas khusus, ingatan kita spontan menuju konstanta kecepatan cahaya, kecepatan tercepat yang ada di jagad raya ini. Relativitas khusus mengatakan bahwa ruang dan waktu, yang oleh Newtonian dianggap terpisah dan bernilai absolut, menyesuaikan diri mereka demi menjaga konstanitas kecepatan cahaya yang bernilai 3×108 meter/detik tersebut. Dengan kata lain, dimensi waktu akan melambat atau mencepat dan dimensi ruang akan memanjang atau memendek, sehingga kecepatan foton selalu bernilai sama.

Konsep ini disimpulkan dengan satu kalimat: “benda bergerak akan merasakan waktu melambat dan ruang memendek.” Konsep ini tidaklah sederhana, saat Einstein mempostulatkannya pada tahun 1905, butuh puluhan tahun bagi para fisikawan untuk benar-benar bisa mengerti teori tersebut.

Artikel ini membahas tiga hal: konsep dilatasi waktu dan kontraksi panjang, umur cahaya, dan kapan cahaya dilahirkan.

Sekarang mari kita ulangi percobaan fantasi yang pernah Einstein lakukan untuk memahami bagaimana waktu melambat dan ruang memendek.

Bagaimana waktu melambat?
Bayangkan kita memiliki dua buah jam-foton seperti pada gambar di samping ini. Kerja jam-foton tersebut adalah sebagai berikut: Sebuah foton terperangkap dalam dua buah cermin (yang merefleksikan 100% cahaya yang datang). Foton ini akan bergerak maju-mundur membentur dua cermin tersebut. Kedua cermin ini kita lengkapi dengan sepesial detektor yang

akan berbunyi tik setiap kali foton menyentuh permukaannya.


Kecepatan cahaya 3×108 meter/detik berarti cahaya akan menempuh jarak sejauh 3×108 meter dalam satu detik. Jika dua cermin tadi terpisah sejauh 30 meter (d = 30 meter), maka total foton menabrak dua cermin tersebut adalah 107 (10 juta) kali tik. Dengan kata lain, setiap kali detektor kita berbunyi 107 tik berarti itu sama dengan satu detik

Satu jam-foton berdiri diam di atas Bumi, sementara yang lain kita beri kecepatan v pada sumbu-x. Foton pada jam-foton yang diam (kita sebut foton #1) harus bergerak 30 meter untuk bisa menghasilkan 1 tik. Tapi foton pada jam-foton yang bergerak (foton #2) harus begerak sejauh d’, yang dari gambar berikut bisa kita lihat lebih panjang daripada d.


Akibatnya saat foton #1 sudah membuat 107 tik, foton #2 masih berjuang untuk menghasilkan tik yang sama. Saat foton #2 berhasil menghasilkan 107 tik, foton #1 sudah memulai perjalanan untuk menghasilkan 107 tik kedua. Artinya, benda yang bergerak akan merasakan waktu 1 detik lebih lama (waktu melambat) daripada saat dia diam.

Fenomena melambatnya dimensi waktu ini disebut dilatasi waktu. Fenomena ini akan dirasakan oleh benda yang bergerak secara relativistik.

Bagaimana ruang memendek?
Bayangkan kita punya sebuah mobil yang panjangnya diukur saat diam adalah lima meter. Tugas kita sekarang adalah mengukur panjang mobil ini saat berjalan sementara kita tetap diam di atas Bumi. Tentu kita tidak mengukur dengan meteran seperti yang kita lakukan saat mobil diam. Cara yang terbaik adalah memakai stopwatch: hidupkan stopwatch ketika ujung depan mobil menyentuh sebuah garis acuan dan matikan saat ujung belakangnya melewati garis itu.

Jika kita bisa melakukan dengan akurat, maka waktu yang ditunjukkan oleh stopwatch (t) berbanding lurus dengan panjang mobil (L):

L = v x t

dengan v adalah kecepatan mobil tersebut. Panjang mobil saat jalan dapat dihitung dengan mudah karena kita punya informasi kecepatan v dan waktu t.

Kalau percobaan itu dilakukan beberapa kali dan kecepatan mobil ditambah, akan didapat hasil bahwa semakin cepat mobil maka semakin pendek panjang mobil. Kenapa demikian?

Salah satu cara untuk memahami fenomena ini adalah dengan konsep dilatasi waktu di atas. Mobil yang berjalan akan mengalami perlambatan waktu: semakin cepat dia bergerak semakin lambat waktu yang dia rasakan, sehingga waktu yang diukur oleh stopwatch semakin kecil. Dengan demikian, sesuai dengan L = v x panjang mobilpun semakin memendek.


Fenomena berkurangnya ukuran dimensi ruang ini disebut kontraksi panjang. Sama halnya dengan dilatasi waktu, fenomena ini akan dirasakan oleh benda yang bergerak secara relativistik.

Pergerakan benda dalam 4-dimensi
Sejauh ini kesimpulan dari percobaan fantasi kita adalah semakin cepat benda bergerak, semakin melambat waktunya, dan semakin memendek ruangnya. Sekarang kita kembangkan kesimpulan itu untuk masuk dalam konsep ruang-waktu teori relativitas khusus.

Kita hidup dalam 4-dimensi: 3-dimensi ruang plus 1-dimensi waktu. Keempat dimensi ini dibutuhkan untuk memberikan koordinat lengkap sebuah objek di alam semesta ini. Misalnya saat menggambarkan keberadaan seseorang di Lantai 4 di sebuah Gedung di Jalan Thamrin 10 (untuk menggambarkan 3 dimensi ruang), kita masih harus menyatakan pada pukul berapa orang itu ada di sana.

Sebuah objek sebenarnya bergerak di 4-dimensi ini. Sebuah mobil yang diam, tetap bergerak di dimensi waktu. Saat mobil ini dijalankan, maka pergerakannya di dimensi waktu harus dibagi dengan pergerakan di dimensi ruang. Sehingga pergerakan di dimensi waktu berkurang: waktu melambat karena pergerakan benda di dimensi ruang – persis seperti yang kita buktikan percobaan jam-foton kita.

Logika tersebut mengantarkan kita pada pemikiran bahwa untuk mencapai pergerakan maksimum di dimensi ruang maka pergerakan di dimensi waktu harus nol. Pada kondisi inilah kecepatan benda menempuh dimensi ruang bisa maksimal.

Dan sesuai dengan teori relativitas khusus, bahwa kecepatan maksimal adalah kecepatan cahaya, segera kita sadari bahwa cahaya sama sekali tidak bergerak pada dimensi waktu. Dengan kata lain, foton tidak berumur – foton yang dihasilkan semenjak alam semesta terbentuk sampai sekarang umurnya sama!

Light is an ageless being!


Kenapa kita tidak dapat melewati kecepatan cahaya?
Ini terkait dengan salah satu formula teori relativitas khusus yang sangat terkenal:
E = m x c2
dengan E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah konstanta kecepatan cahaya.

Formula tersebut menjelaskan relasi langsung antara energi-massa (konservasi energi-massa): sebuah objek dengan massa m bisa menghasilkan energi E sebesar mc2 – dan karena c sendiri sebuah konstanta yang besar, massa yang kecil tetap akan menghasilkan energi yang besar. Bayangkan, Hiroshima tahun 1945 hancur akibat energi yang dihasilkan 1% dari 2 pounds Uranium.

Di sisi lain, formula ini memainkan peranan penting dalam pergerakan objek dalam 4-dimensi. Benda yang bergerak memiliki energi kinetik, semakin tinggi kecepatannya semakin besar energinya. Saat kita paksa partikel muon mencapai kecepatan 99.9% kecepatan cahaya, muon memiliki energi yang besar. Karena konservasi energi-massa, energi tadi meningkatkan massa muon 22 kali lebih massif daripada massa-diamnya (0.11 MeV).

Tentu saja semakin massif benda semakin susah untuk bergerak cepat. Ketika kecepatannya dinaikkan menjadi 99.999% kecepatan cahaya, massanya bertambah 70.000 kali! Muon semakin massif dan semakin cendrung untuk tidak bergerak. Sehingga dibutuhkan energi yang tak berhingga untuk melewati kecepatan cahaya – jumlah energi yang tidak mungkin.

Kapan cahaya dilahirkan?
Menurut teori Dentuman Besar, partikel pertama yang tercipta bernama Higgs. Kemudian, Higgs melahirkan partikel-partikel lain termasuk di antaranya foton (partikel cahaya). Tapi, foton tidak dapat kemana-mana sampai Alam Semesta berumur sekitar 300.000 tahun, karena “terikat” oleh partikel-partikel lainnya.

Setelah 300.000 tahun, ikatan tersebut melemah dan cahaya pun dapat berkeliaran mengisi relung-relung dimensi ruang Alam Semesta. Saat itulah Alam Semesta “transparan”. Ini ibarat sebuah kamar yang awalnya gelap-gulita kemudian menjadi terang-benderang setelah lampu dihidupkan.


Hanya saja, karena ukuran Alam Semesta begitu luasnya, tidak semua bagian Alam Semesta yang langsung terang. Butuh waktu lama bagi cahaya untuk mencapai seluruh pelosok Alam Semesta. Sepanjang perjalanannya, cahaya ini harus bertemu dengan isi Alam Semesta yang lain berupa materi-materi, energi, dan bahkan cahaya lain yang berasal dari bintang baru atau emisi partikel bermuatan.

Reliks, atau fosil, atau sisa cahaya, atau “cahaya tertua” yang terlahir saat usia Alam Semesta 300.000 tahun ini sekarang dikenal dengan latar gelombang mikro kosmik, atau CMB. Para saintis menggunakan CMB ini untuk meneropong masa lalu, memperkirakan bagaimana evolusi Alam Semesta, mereka-reka struktur Alam Semesta, dan bahkan memprediksi bagaimana takdir akhir Alam Semesta.

Wallahu Alam