Tuesday, October 20, 2015

Lambayeque - Lembah dengan Ratusan Piramida

Peru dengan cepat menjadi ibukota piramida dunia. Tidak hanya memiliki salah satu piramida tertua di dunia (Caral), dengan penggalian-penggalian yang dilakukan para arkeolog, lebih banyak lagi kompleks piramida ditemukan.


Tucume

Pada akhir 1870-an, seorang insinyur Jerman bernama Hans Bruning bekerja pada pengembangan mesin baru untuk industri gula tebu di Peru. Sementara ia ada di sana, ia melihat orang-orang lokal melebur artefak emas dan perak yang mereka temukan di daerah; tertarik dengan makna sejarah artefak ini, ia memutuskan untuk mencoba dan menemukan dari mana mereka berasal. Akhirnya, ia menemukan sebuah peradaban yang hilang, masyarakat pembangun piramida yang pernah mendiami lembah Lambayeque dari sekitar 750 M. Mereka membangun piramida bata pada skala besar dan dalam jumlah besar, yang kemudian ditinggalkan. Seiring waktu batu bata telah sangat terkikis sehingga membuat piramida tampak seperti formasi bentang alam, dua ratus lebih 'gunung-gunung' memenuhi lembah. Bruning meninggal sebelum dia bisa menemukan rahasia peradaban yang hilang ini, tetapi sejak itu para arkeolog telah terpesona dengan temuannya.

Orang-orang yang tinggal di sana tidak mengenal tulisan, dan mereka tidak meninggalkan catatan apapun tentang mereka. Kebanyakan sejarawan sekarang menyebut mereka sebagai Lambayeque, nama lembah di mana mereka hidup dan mati, meskipun kadang-kadang mereka disebut sebagai Sica.

Sica terobsesi dengan pembangunan piramida besar, pada skala yang tidak terlihat di tempat lain di Amerika Selatan. Ada begitu banyak piramid di lembah ini sehingga ribuan orang harus menghabiskan seluruh hidup mereka dalam membangun piramid-piramid ini. Mengapa? Apa tujuan piramid-piramid ini dibuat? Dan apa yang terjadi pada peradaban misterius yang membangunnya? Para arkeolog telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan teka-teki ini, dan mereka telah menemukan kota-kota di lembah yang memberikan mereka beberapa jawaban.

Seperti penduduk asli lain dari Peru - Chimu, Inca - Sica menyembah dewa cuaca dan alam. Dewa badai dan dewa petir sangat kuat, tapi para dewa dari pegunungan lah yang mereka beri penghormatan khusus. Sejarawan percaya bahwa mereka memulai program membangun piramida mereka untuk menciptakan 'replika gunung' dimana mereka bisa beribadah dan mengambil hati dewa-dewa. Para elit Sica - yang mungkin telah berfungsi sebagai semacam imamat dan terlihat sebagai perantara antara rakyat dan dewa-dewa mereka - mungkin memupuk kultus piramida ini sebagai sarana mempertahankan posisi mereka sendiri.

Makam Penguasa Sipan. Harta digali di lembah Lambayeque.

Dan ada kebutuhan besar untuk intervensi para dewa di lembah Lambayeque. Lembah Lambayeque terletak dekat dengan fenomena yang dikenal sebagai El Nino yang menyebabkan kondisi cuaca ekstrim berkala di daerah itu selama ratusan tahun. Batan Grande - salah satu kota terpenting Sica - dilanda kekeringan yang mengerikan di abad kesebelas yang berlangsung selama tiga puluh tahun atau lebih. Ketika upaya memohon kepada para dewa gagal dan kekeringan tetap berlanjut, Batan Grande ditinggalkan. Ada bukti bahwa struktur di atas piramida, yang adalah tempat para elit berdiam, dibakar dalam upaya pensucian. Setelah meninggalkan Batan Grande, Sica pindah ke situs lain dan mulai membangun pemukiman besar kedua, yaitu kota Tucume.

Batan Grande

Pada Tucume - seakan keputus-asaan membuat pembangunan piramida menjadi obsesi - Sica membangun dua puluh enam struktur yang monumental. Setidaknya dibutuhkan sekitar 2000 orang per tahun untuk membuat batu bata untuk satu piramida.


Kadang-kadang para dewa bisa dirayu dengan hadiah dan pengorbanan hewan. Tapi, jika cara-cara tersebut gagal, Sica melakukan pengorbanan manusia sebagai jalan terakhir. Ada sebuah kuburan massal di luar kuil di Tucume yang berisi tubuh-tubuh tanpa kepala dari pria, wanita dan anak-anak berusia semuda lima tahun. Mayat-mayat tidak menunjukkan bukti perlawanan, dan penggalan yang membunuh mereka sangat rapi; para arkeolog yang menyelidiki situs percaya bahwa para korban dibius dengan amalya, ramuan yang menginduksi kelumpuhan sehingga pemenggalan kepala mereka dapat dilakukan secara rapi dan tanpa perlawanan. Setidaknya ada 119 korban menghadapi kematian mereka, tidak melawan, tapi mungkin sangat menyadari apa yang akan terjadi pada mereka. Daerah di sekitar situs kuno masih disebut secara lokal sebagai Purgatorio (Purgatory) dan diperkirakan telah dikutuk. Ironisnya itulah yang telah memungkinkan pelestarian artefak-artefak antik yang ditemukan di sana karena reputasinya yang menyeramkan membuat para perampok situs perlu berpikir berkali-kali untuk melakukan pencurian disana.

Para penguasa Sica tampaknya tidak membuat upaya penaklukan daerah lain tetapi akhirnya mereka dikalahkan dan berasimilasi dengan kerajaan Chimu sekitar 1375 M, dan kemudian dikuasai oleh Inca (1450-1532 AD) sebelum spanyol datang.






Meskipun Tucume kini telah dianalisis dengan benar, namun sebagian besar belum diakui sampai Thor Heyerdahl tertarik dengan kompleks ini pada tahun 1988. Heyerdahl dan timnya menafsirkan signifikansi budaya temuan mereka, implikasi yang lebih besar dari arsitektur situs, struktur piramida yang menarik, dan artefak mengesankan ditemukan. Penemuan paling menarik terkait dengan penyelidikan Heyerdahl tentang kemungkinan perjalanan laut dan pembangunan kapal oleh penduduk awal Tucume. Di antara temuan ada yang menggambarkan manusia burung mengendalikan perahu di tengah gelombang antropomorfik.


Baca Juga: