Monday, July 25, 2011

Hewan Asli Indonesia yg Hampir Punah

Mungkin anak cucu kita nanti hanya bisa melihat foto-foto ini, karena binatang-binatang asli Indonesia ini sudah diambang kepunahan ..




Jalak bali (Leucopsar rothschildi)
Panjang: 25 cm, Berat 85-90 gr

Populasinya sangat terancam,jalak Bali merupakan salah satu burung paling langka di dunia dan relatif baru bagi ilmu pengetahuan menjadi yang pertama dijelaskan pada 1912 oleh Walter Rothschild. pada jalak bali dewasa memiliki sayap putih dengan strip hitam, ekor tipis dan biru di sekitar mata. Hewan endemik bagi pulau Bali di Indonesia dan sebelumnya ditemukan di sepanjang barat laut dari pulau ketiga.Mendiami hutan monsun dan akasia sabana





Burung Cendrawasih
 

Banyak tersebar di Indonesia timur, terutama Papua, Ternate, Pulau Aru, beberapa pulau kecil disekitarnya, dan juga di Papua Nugini, Australia, serta pulau-pulau yang berdekatan. WWF Papua 1980 menyebutkan ada 48 spesies cendrawasih di kawasan itu, namun karena perambahan & konversi hutan jumlahnya menyusut.. Spesies yang terkenal antara lain : Paradisaea apoda, Paradisaea minor, Cicinnurus regius, dan Seleucidis melanoleuca. Bulu yang indah terutama terdapat pada cenderawasih jantan. Umumnya bulu-bulunya sangat cerah dengan kombinasi hitam, coklat kemerahan, oranye, kuning, putih, biru, hijau, bahkan juga ungu.

Burung ini hidup menyendiri di lembah-lembah pegunungan hutan tropis dan biasa bersarang diatas kanopi pohon yang tinggi besar. Ukuran dewasa jantan sekitar 46 cm sampai ekor. Saat sayap dibentangkan, besar burung bisa mencapai 61 cm dari ujung ke ujung.

Cendrawasih betina biasanya bertelur 2 butir, mengerami dan membesarkan anaknya sendiri. Bulu burung betina dan anak-anaknya berwarna pucat dan mereka berkumpul dalam suatu kawanan agar tidak diganggu musuh.

Cendrawasih tergolong omnivora dengan memakan buah, biji-bijian, serangga, siput, dan kadal kecil. Seluruh spesies ini dilindungi sejak 1931 dengan UU Perlindungan Margasatwa th. 1931.

Karena maraknya penangkapan, penebangan hutan, perkebunan sawit, & pencarian kayu gaharu di hutan-hutan, burung ini terancam punah. Bahkan di Yapen Waropen, daerah yang selama ini menjadi pusat habitatnya, sudah sulit ditemukan burung ini. Demikian menurut Direktur Regional WWF Sahul Papua, Benja V Mambai.

Di Taman Nasional Laurentz ada 20 jenis cendrawasih, tetapi akhir-akhir ini tidak lagi terlihat. Di Jayapura, terutama di pegunungan Cyclops & Mamberamo, ada 18 jenis cendrawasih, tetapi sekarang tidak lagi ditemukan.





Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis)

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Infra kelas : Eutheria
Ordo : Carnivora
Sub ordo : Fissipedia
Super famili : Felloidea
Famili : Felidae
Sub famili : Pantherina
Genus : Panthera
Spesies : Panthera tigris
Subspesies : Panthera tigris sumatrae

Merupakan satu-satunya dari subspesies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Keberadaannya hingga saat ini semakin mengkhawatirkan. Kehilangan habitat dan mangsa (Bovidae dan Cervidae) menyebabkan satwa yang hidup di pulau sumatera ini semakin terancam keberadaannya. Saat ini diperkirakan berkisar 400-500 ekor yang masih tersisa di alam (Seidenstiker,1999).

Panjang Harimau Sumatera jantan dapat mencapai 2,2 – 2,8 meter, sedangkan betina 2,15 – 2,3 meter. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, tetapi ada juga yang mencapai antara 80 – 95 cm, dan berat 130 – 255 kg. Hewan ini mempunyai bulu sepanjang 8 – 11 mm, surai pada Harimau Sumatera jantan berukuran 11 – 13 cm.

Bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; Hafild dan Aniger, 1984 ; Kahar, 1997 ; Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973 ; Saleh dan Kambey, 2003 ; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Suwelo dan Somantri, 1978 ; Treep, 1973)

Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.

Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.

Habitat:
Harimau Sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah :

1. Adanya habitat dengan kwalitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan anak serta berburu.
2. Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang
3. Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup.

Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera di Indonesia bervariasi, dengan ketinggian antara 0 – 3000 meter dari permukaan laut, seperti :

1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan
2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar
3. Padang rumput terutama padang alang-alang
4. Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis
5. Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian
6. Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hiutan gambut.

         

Makanan:
Harimau Sumatera termasuk jenis Carnivora yang biasanya memangsa : Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus sp.), dan Babi hutan liar (Sus sp.). Kerbau liar (Bubalus bubalis), Tapir (Tapirus indicus), Kera (Macaca irus), Langur (Presbytis entellus),Landak (Hystrix brachyura),Trenggiling (Manis javanica), Beruang madu (Heralctos malayanus), jenis-jenis Reptilia seperti kura-kura, ular, dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan, dan kodok dan jenis-jenis satwa liar lainnya.

Hewan peliharaan atau ternak yang juga sering menjadi mangsa harimau adalah Kerbau, kambing, domba, sapi, Anjing dan ayam. Biasanya hewan-hewan ini diburu harimau bila habitat harimau terganggu atau rusak sehingga memaksa harimau keluar dari habitatnya ke pemukiman atau persediaan mangsa di alam bebas sudah habis atau sangat berkurang jumlahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3 – 6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6 – 7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973).

Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10 – 15 tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai 16 – 25 tahun (Macdonald, 1986).

Reproduksi
Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup tinggi. Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3 – 4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4 – 5 tahun. Lama kehamilan harimau betina berkisar 102-110 hari Jumlah anak harimau pada sekali kelahiran jumlahnya berkisar antara 1 – 6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua atau tiga ekor saja. Harimau betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30 ekor, dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih 22 bulan, atau 2–3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati.

Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau memelihara anak. Home range untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60 – 100 km2. Tetapi angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3 – 4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina. Di Way Kambas dalam 100 km2 di dihuni oleh 3 – 5 ekor harimau.

Harimau Sumatera merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di Pulau Sumatera saja. Sebelumnya, populasi Harimau Sumatera sangat banyak tersebar, mulai dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan, Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas.

Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai puluhan ribu ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor dan saat ini berkisar 500-600 ekor. Diperkirakan pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak paling tidak 30 ekor per tahun, dengan penyebab utama adalah : Konversi Hutan, Degradasi Habitat, Fragmentasi Habitat, Konflik Harimau dengan Manusia, Perburuan Harimau dan Mangsa.

Konservasi Harimau Sumatera Secara Komprehensif
Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis.

Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau sumatera mati akibat perburuan.

Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang sudah dianggap punah.

Menurunya populasi harimau Sumatera di alam disebabkan oleh banyak factor yang saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan. Factor-faktor penyebab tersebut diantaranya, adalah:

1. Informasi dan pengetahuan di bidang bio-ekologi harimau sumatera masih terbatas.
2. Menurunnya kwalitas dan kwantitas habitat harimau sumatera akibat konversi hutan, eksploitasi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain
3. Fragmentasi Habitat akibat Perencanaan Tata Guna Lahan dan penggunaan lahan dan hutan yang kurang memperhatikan aspek-aspek konservasi satwa liar khususnya harimau sumatera.
4. Kematian harimau sumatera secara langsung sebagai akibat dari perburuan untuk kepentingan ekonomi, estetika, pengobatan tradisional, magis, olahraga dan hobby serta mempertahankan diri karena terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat.
5. Penangkapan dan pemindahan harimau sumatera dari habitat alami ke lembaga konservasi eksitu karena adanya konflik atau kebutuhan lain.
6. Menurunya populasi satwa mangsa harimau karena berpindah tempat maupun diburu oleh masyarakat.
7. Rendahnya unsur-unsur management pengelola konservasi harimau sumatera.
8. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam konservasi alam dan rendahnya penegakan hukum dibidang “Wildlife Crime” telah pula mempercepat penurunan populasi harimau sumatera di alam.

Untuk mencegah terjadinya kepunahan harimau sumatera dan memulihkan kembali populasi-populasi harimau yang berada pada tingkat tidak sehat ke tingkat populasi sehat diperlukan tindakan yang secara simultan dapat mengatasi faktor-faktor penyebab kepunahan harimau sumatera tersebut di atas.

Bioekologi Harimau Sumatera
Harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929) secara taksonomi dalam biologi termasuk dalam :

Selain Panthera tigris sumatrae masih terdapat tujuh subspesies lain yang juga termasuk dalam spesies Panthera tigris yaitu :

* Harimau India atau Harimau Bengala (Panthera tigris tigris),
* Harimau Siberia (Panthera tigris altaica),
* Harimau Cina atau Amoy (Panthera tigris amoyensis),
* Harimau Indo-Cina (Panthera tigris corbetti),
* Harimau Kaspia (Panthera tigris virgata) yang punah sekitar tahun 1950,
* Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), terdapat di Jawa, Indonesia, dinyatakan punah sekitar tahun 1980, dan
* Harimau Bali (Panthera tigris balica), terdapat di Bali dan dinyatakan punah tahun 1937.

Populasi Harimau Sumatera
Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100 ekor hidup.


Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33 ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif harimau sumatera diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.

Hasil survey dan monitoring populasi menggunakan kamera inframerah yang dilakukan dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data populasi sebagai berikut :

* Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor, telah terpotret 44 individu,
* Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor, telah terpotret 7 individu

Di Kawasan Hutan Senepis-Buluhala: 11-14 ekor, telah terpotret, 9 individu




Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

Adalah salah satu spesies satwa terlangka di dunia dengan perkiraan jumlah populasi tak lebih dari 60 individu di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dan sekitar delapan individu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam (2000). Badak Jawa juga adalah spesies badak yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia dan masuk dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered.

Badak diyakini telah ada sejak jaman tertier (65 juta tahun yang lalu). Seperti halnya Dinosaurus yang telah punah, Badak pada 60 juta tahun yang lalu memiliki 30 jenis banyak mengalami kepunahan. Saat ini hanya tersisa 5 spesies Badak, 2 spesies diantaranya terdapat di Indonesia.

Klasifikaksi Ilmiah: Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Subfilum: Vertebrata. Kelas: Mammalia. Ordo: Perissodactyla. Superfamili: Rhinocerotides. Famili: Rhinocerotidae. Genus: Rhinoceros. Spesies: Rhinoceros sondaicus (Desmarest, 1822)


Sedikit tambahan; Rhinoceros berasal dari bahasa Yunani yaitu “rhino” yang berarti “hidung” dan “ceros” yang berarti “cula”. Sondaicus merujuk pada kepulauan Sunda di Indonesia. “Sunda” berarti “Jawa” sedangka “icus” dalam bahasa latin mengindikasikan lokasi





Sumatran Rhinoceros /Dicerorhinus sumatrensis)

Di seluruh dunia hanya terdapat 5 spesies badak. Dan 2 diantaranya terdapat di Indonesia, yakni Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) dan Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). 3 spesies lainnya adalah spesies badak India, badak Hitam dan badak Putih.

Bayangkan 2 jenis badak terdapat di negara yg kita tinggali, namun kita tidak dapat menjaga amanah dari Tuhan/alam ini. Karena kedua spesies badak ini serta jenis badak Hitam masuk dalam kategori spesies yg terancam punah stadium kritis. Artinya ketiga spesies ini sangat terancam punah dan jumlah populasinya sudah sangat memprihatinkan, yakni diperkirakan tinggal sekitar 300 ekor untuk badak Sumatra dan 50 ekor untuk badak Jawa. Jumlah yg sudah sangat mengkhawatirkan.

Sementara itu badak Hitam dan badak Putih terdapat di benua Afrika, sedangkan badak India, seperti namanya bisa ditemukan di hutan2 India. Kedua spesies badak Jawa dan Sumatra adalah spesies badak yg memiliki ukuran tubuh paling kecil, dengan badak Sumatra sebagai yg terkecil. Sedang badak India adalah spesies dgn ukuran tubuh terbesar dengan perkiraan sisa populasi sebesar ca 2.700 ekor. Spesies badak yg masuk dalam kategori vulnerable (masih dalam list terancam) adalah badak Putih Afrika dgn populasi ca 17.500 ekor.


Sekali lagi, badak adalah aset fauna nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Dengan populasi badak Jawa yg tinggal 40-50 ekor adalah sebuah peringatan bagi kita, apakah kita sebagai manusia yg katanya khilafah di atas bumi bisa menjaga amanah dari Sang Pencipta?





Kuskus Beruang Ailurops ursinus

Ada 2 jenis kuskus yang hidup di Sulawesi dan keduanya merupakan binatang endemik Sulawesi. Satwa tersebut termasuk mamalia Ordo Marsupialia atau mamalia berkantong. Ordo ini merupakan anggota satwa-satwa khas zoogeografi Australia.

1. Kuskus Beruang Ailurops ursinus

Kuskus Beruang atau Kuse betina membawa bayi di dalam kantong yang terdapat di bagian perut. Panjang badan dan kepala kuse adalah 56 cm, panjang ekornya 54 cm dan beratnya dapat mencapai 8 kg. Kuse memiliki ekor yang prehensil, yaitu ekor yang dapat memegang dan biasa digunakan untuk membantu berpegangan pada waktu memanjat pohon yang tinggi.

Kuse mendiami lapisan atas dari hutan. Makanannya terdiri dari daun dan buah, misalnya daun pohon Kayu kambing (Garuga floribunda), dan Pohon Mindi (Melia azedarach) dan buah pohon Rao (Dracontomelon dao). Kuse membentuk kelompok kecil yang hanya terdiri dari induk dan bayi. Kecuali pada musim kawin, kuse jantan dan betina dewasa biasanya hidup secara soliter / sendiri-sendiri.

Kuse merupakan binatang yang pendiam. Dia hampir-hampir tidak bersuara kecuali kalau terganggu. Kuse yang terganggu akan mengeluarkan suara decak yang disela dengan engahan keras.

Kuse yang terdapat di pulau Sangihe dan Salibabu (Kabupaten Sangihe-Talaud) memiliki ciri yang sedikit berbeda dari yang terdapat di daratan Sulawesi. Bulunya berwarna abu-abu pucat yang seragam, ukuran kepalanya berbeda, dan secara keseluruhan ukurannya lebih kecil. Kuse ini digolongkan sebagai sub-jenis khas Sangihe-Talaud, dan nama ilmiahnya Ailurops ursinus melanisticus.

2. Kuskus Kerdil Strigocuscus celebensis

Strigocuscus celebensis mempunyai beberapa subspesies yaitu: S. c. celebensis ditemukan di Sulawesi Tengah dan Selatan, S. c. feileri di Sulwesi Utara, and S. c. sangirensis ditemukan di Kepulauan Sangihe.

Strigocuscus celebensis hidup di hutan primer, hutan sekunder dan juga di kebun masyarakat di pinggir hutan. Kadang-kadang tidur di pelepah daun kelapa. Masyarakat di daerah Napu pernah menemukannya di daerah persawahan dan dibawanya pulang.

Kuskus kerdil ini berwarna coklat pucat agak keputihan, panjang tubuh dari kepala 29-38 cm dan panjang ekornya 27-37cm, beratnya 1 kg atau kurang, rostrum lebih pendek dari kuskus beruang. Hidup secara nocturnal (aktif dimalam hari ) dan arboreal (berada di pepohonan) biasa berpasangan jantan dan betina. Kuskus kerdil merupakan pasangan monogami yang tidak berganti-ganti pasangan. Makanan utamanya adalah daun-daunan, bunga, buah, kulit pohon, dan juga jamur hutan.

Kuskus kerdil biasanya mengandung satu sampai dua kali pertahun, dimana 3-4 anak akan lahir, tetapi hanya satu saja yang di asuh. Masa kehamilan relatif singkat hanya 20 hari saja dan anak kuskus lahir dalam keadaan sangat kecil dan tidak berbulu yang akan merayap ke kantong induknya.

Status populasinya belum diketahui dengan pasti dan menurut IUCN S. celebensis termasuk kategori DD (data deficient).




Tarsius

Tarsius adalah primata dari genus Tarsius, suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes. Meskipun grup ini dahulu kala memiliki penyebaran yang luas, semua spesies yang hidup sekarang ditemukan di pulau-pulau di Asia Tenggara.

Tarsius memanjat pohon. Posisi filogenetik tarsius yang hidup sekarang banyak diperdebatkan pada abad yang lalu, dan tarsius diklasifikasikan secara bergantian pada Strepsirrhini pada subordo prosimia, atau sebagai grup saudara dari simia (=Anthropoidea) dalam infraordo Haplorrhini. Diindikasikan bahwa tarsius, yang semuanya dimasukkan pada genus Tarsius, sebenarnya harus diklasifikasikan pada dua (grup Sulawesi dan Filipina-Barat) atau tiga generasi yang berbeda (grup Sulawesi, Filipina dan Barat). Taksonomi di tngkat spesies adalah rumit, dengan morfologi seringkali digunakan secara terbatas dibandingkan vokalisasi. Beberapa "ragam bentuk vokal" mungkin mewakili taksa yang belum dideskripsikan, yang secara taksonomis terpisah dari Tarsius tarsier (=spectrum) (seperti tarsius dari Minahasa dan kepulauan Togean), dan banyak tarsius lain dari Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya (Shekelle & Leksono 2004). Hal ini mungkin juga merupakan kasus sejumlah populasi Filipina yang terisolasi yang kurang diketahui seperti populasi Basilan, Leyte dan Dinagat dari grup T. syrichta. Kerancuan lebih lanjut muncul pada validitas nama-nama tertentu. Diantaranya, T. dianae yang sering dipakai telah ditunjukkan sebagai sinonim junior dari T. dentatus, sama halnya dengan itu, T. spectrum sekarang dianggap sinonim junior dari T. tarsier. Terlebih lagi, T. tarsier yang diperdebatkan sebagai sinonim senior dari T. spectrum yang dipakai secara luas.




Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
Elang Jawa atau dalam nama ilmiahnya Spizaetus bartelsi adalah salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.

Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng. 

Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.

Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.


Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.


Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor. Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa. Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.




Hiu karpet berbintik (Hemiscyllium freycineti)

Berpola kulit yang indah, hiu ini memiliki kemiripan yang luar biasa dengan kulit macan tutul. Heksagonal cokelat bintik, dengan pusat-pusat pucat, penuh di seluruh tubuh bagia atas. Kecil bintik-bintik gelap menutupi moncong, dan besar, gelap yang terletak tepat di belakang sirip dada. Kedua sirip punggung dan sirip anus ditempatkan di belakang tubuh, pada ekor tebal. Habitatnya pada air dangkal di terumbu karang, pasir dan rumput laut yang lebat, berada didaerah papua






Babirusa Sulawesi (Babyrousa celebensis)

Tergolong kedalam hewan yang rentan kepunahannya terdaftar didalam data hewen yg hampir punah didunia. Babirusa Sulawesi jelas diketahui menghuni semenanjung utara dan utara-bagian timur Sulawesi, dan jangkauan dapat juga meliputi pusat, timur dan selatan-timur Sulawesi, meskipun studi lanjut pada penggolongan / taksonomi hewan ini diperlukan sebelum hal ini dapat dikonfirmasi. Beratnya mencapai 600kg, Hidup di hutan hujan dan beriklim tropis.




Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi)

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Hewan, Filum: Chordata, Kelas: Mamalia, Ordo:Artiodactyla, Famili:Bovidae, Upafamili:Bovinae, Genus: Bubalus, Spesies: B. quarlesi, B. depressicornis

Nama binomial
Bubalus quarlesi, (Ouwens, 1910); Bubalus depressicornis (H. Smith, 1827)

Deskripsi
Anoa (Bubalus spp). Anoa disebut juga sapi hutan atau kerbau kerdil. Anoa merupakan satwa terbesar daratan Sulawesi. Terdapat dua jenis Anoa di Sulawesi, yaitu Bubalus depressicornis (Anoa dataran rendah) dan Bubalus quarlesi (Anoa dataran tinggi). Makanan Anoa berupa buah-buahan, tuna daun, rumput, pakis, dan lumut. Anoa bersifat soliter, walaupun pernah ditemui dalam kelompok. Seperti umumnya sapi liar, Anoa dikenal agresif dan perilakuknya sulit diramalkan. Karena hanya makan tunas pohon dan buah-buahan yang tidak banyak mengandung natrium, maka Anoa harus melengkapi makanannya dengan mencari natrium ditempat bergaram. Pada saat ini, populasi Anoa merosot tajam. Di cagar alam Tangkoko Dua Saudara Bitung Sulawesi Utar, jumlah Anoa menurun 90% selama 15 tahun dan jenis ini sudah mengalami kepunahan setempat (Whitten, et al. 1987; Kinnaird, 1997).

Status bubalus spp. Adalah “endangered” (genting) – EN Cl + 2a (IUCN, 2002). Kedua jenis Anoa ini menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk punah di alam, sebab populasinya diduga tinggal kurang dari 2500 individu dewasa dan populasi hewan ini terus menurun.

Ciri-ciri Anoa
Tubuh Anoa berukuran sekitar 1 meter dan memiliki berat 150-300 kg serta anak Anoa dilahirkan sekali setahun. Warna bervariasi dari abu-abu hingga coklat tua dan kaki keputih-putihan.

Penyebab Kepunahan dari Anoa
Penyebab semakin berkurangnya populasi Anoa karena habitat hidup Anoa semakin terdesak untuk pembukaan lahan. Pembukaan lahan itu selain untuk permukiman, sawah, ladang, juga untuk kepentingan manusia lainnya. Selain itu, Anoa banyak diburu untuk diambil kulit, daging, dan tanduknya. Karena itu, sejak tahun 1960 Anoa telah dinyatakan dalam status terancam.




Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
panjang ekor: 40 cm, Kepala+ panjang badan: 180 cm, jantan tinggi: 27-37 cm, betina height: 18-26 cm. Spesies ini endemik untuk pulau Sulawesi Indonesia, di mana jangkauan membentang sekitar 5.000 km², Sesuai dengan namanya jenis ini mendiami hutan dataran rendah. Hal ini juga terjadi di daerah berawa dan di masa lalu tercatat dari daerah pesisir




Burung Maleo (Macrocephalon maleo)

Ukurannya 55-60 cm. termasuk ke dalam hewan yang terancam populasinya, Habitatnya di sulawesi dan pulau buton. Tinggal di dataran rendah dan pantai Burung mencolok ini memiliki khas kurus, gelap pada mahkota pelindung kepala, wajah berwarna kekuningan. Paha yang hitam, dan perut putih, dengan warna merah muda pada dorsal(dada). Burung langka ini biasanya diam, tetapi, terutama di sekitar sarang sangat menjaga, dapat memancarkan suara sangat luar biasa. Ini termasuk ringkikan keras dan, ketika dalam perebutan, seperti bebek ber-kwek.




Kelelawar berjenggot coklat dan ekor selubung
(Taphozous achates)




Dendrolagus pulcherrimus
(Kanguru Pohon Mantel Emas)

merupakan sejenis kanguru pohon yang hanya ditemukan di hutan pegunungan pulau Irian. Spesies ini memiliki rambut-rambut halus pendek berwarna coklat muda. Leher, pipi dan kakinya berwarna kekuningan. Sisi bawah perut berwarna lebih pucat dengan dua garis keemasan Dendrolagus pulcherrimusdipunggungnya.​ Ekor panjang dan tidak prehensil dengan lingkaran-lingkaran terang.

Penampilan Kanguru-pohon Mantel-emas serupa dengan Kanguru pohon Hias. Perbedaannya adalah Kanguru-pohon Mantel-emas memiliki warna muka lebih terang atau merah-muda, pundak keemasan, telinga putih dan berukuran lebih kecil dari Kanguru-pohon Hias. Beberapa ahli menempatkan Kanguru-pohon Mantel-emas sebagai subspesies dari Kanguru-pohon Hias.


Kanguru-pohon Mantel-emas merupakan salah satu jenis kanguru-pohon yang paling terancam kepunahan diantara semua kanguru pohon. Spesies ini telah punah di sebagian besar daerah habitat aslinya.




Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia;
Filum: Chordata; 
Kelas: Mammalia; 
Ordo: Primata; 
Famili: Cercopithecidae; 
Genus: Macaca;
Spesies: Macaca nigra. 
Nama binomial Macaca nigra

Kera langka dari Maluku dan Sulawesi dengan populasi sekitar 100.000 ekor. Kera Hitam Sulawesi merupakan jenis primata yang mulai langka dan terancam kepunahan. Kera Hitam Sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan satwa endemik Sulawesi Utara.

Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu yang berwarna hitam juga mempunyai ciri yang unik dengan jambul di atas kepalanya. Kera yang oleh masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin hari semakin langka dan terancam punah. Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status konservasi Critically Endangered (Krisis).

Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul. Dan oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki, Bolai, Dihe. Dalam bahasa Inggris primata langka ini disebut dengan beberapa nama diantaranya Celebes Crested Macaque, Celebes Black ape, Celebes Black Macaque, Celebes Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black Macaque, Gorontalo Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin (ilmiah) Kera Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang bersinonim dengan Macaca lembicus (Miller, 1931) Macaca malayanus (Desmoulins, 1824).

Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi.
Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh yang ditumbuhi bulu berwarna hitam kecuali pada daerah punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang. Serta daerah seputar pantat yang berwarna kemerahan.

Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki) memiliki jambul. Mukanya tidak berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol. Panjang tubuh Kera Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45 hingga 57 cm, beratnya sekitar 11-15 kg.

Habitat dan Tingkah Laku.
Kera Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok Besar kelompoknya terdiri antara 5-10 ekor. Kelompok yang besar biasanya terdiri atas beberapa pejantan dengan banyak betina dewasa dengan perbandingan satu pejantan berbanding 3 ekor betina.

Primata yang menyukai jenis–jenis pohon yang tinggi dan bercabang banyak. Sepertti Beringin (Ficus sp) dan Dao (Dracontomelon dao) ini merupakan hewan omnivora, mulai dari buah-buahan hingga serangga. Musuh utama Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) ini sama seperti tarsius yaitu ular Phyon.Primata ini banyak menghabiskan waktu di pohon.

Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya terfokus di hutan primer pada lokasi yang masih banyak jenis pohon berbuah yang biasa dimakan oleh satwa ini. Daya jelajahnya (home range) selalu menuju ke satu arah dan akan kembali kearah semula dengan daya jelajah antara 0,8–1 km.

Binatang langka ini dapat ditemui di Sulawesi Utara di Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau Pulau Manadotua and Pulau Talise, Pulau Lembeh (kemungkinan telah punah), termasuk di Pulau Bacan (Maluku).

Konservasi. 
Kera Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999. Populasi Kera Hitam Sulawesi berdasarkan data tahun 1998 diperkirakan kurang dari 100.000 ekor. Jumlah ini diyakini semakin mengalami penurunan. Penurunan popolasi ini sebagian besar diakibatkan oleh perburuan liar.

Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN Redlist memasukkan Kera Hitam Sulawesi dalam daftar status konservasi Critically Endangered (kritis) sejak tahun 2008. Dan CITES juga memasukkan satwa endemik ini sebagai Apendix II.




Macan Tutul Jawa atau Macan Kumbang
(Panthera pardus melas)

Subspesies ini populasinya kurang dari 250 ekor.

Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan: Animalia; 
Filum: Chordata; 
Kelas: Mammalia; 
Ordo: Carnivora; Famili: Felidae; 
Genus: Panthera; Spesies: Panthera. pardus; 
Subspesies: Panthera pardus melas. 
Nama trinomial Panthera pardus melas (Cuvier, 1809)

Macan Tutul Jawa atau dalam bahasa latin disebut Panthera pardus melas menjadi kucing besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa setelah punahnya Harimau Jawa. Macan Tutul Jawa (Java Leopard) merupakan satu dari sembilan subspesies Macan Tutul (Panthera pardus) di dunia yang merupakan satwa endemik pulau Jawa. Hewan langka yang dilindungi ini menjadi satwa identitas provinsi Jawa Barat.

Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) yang dimasukkan dalam status konservasi “Critically Endangered” ini mempunyai dua variasi yaitu Macan Tutul berwarna terang dan Macan Tutul berwarna hitam yang biasa disebut dengan Macan Kumbang. Meskipun berwarna berbeda, kedua kucing besar ini adalah subspesies yang sama.

Ciri-ciri Macan Tutul Jawa. Dibandingkan subspesies macan tutul lainnya, Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) mempunyai ukuran relatif kecil. Panjang tubuh berkisar antara 90 – 150 cm dengan tinggi 60 – 95 cm. Bobot badannya berkisar 40 – 60 kg.

Subspesies Macan Tutul yang menjadi satwa endemik pulau Jawa ini mempunyai khas warna bertutul-tutul di sekujur tubuhnya. Pada umumnya bulunya berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik berwarna hitam. Bintik hitam di kepalanya berukuran lebih kecil. Macan Tutul Jawa betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.

Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) sebagaimana macan tutul lainnya adalah binatang nokturnal yang lebih aktif di malam hari. Kucing besar ini termasuk salah satu binatang yang pandai memanjat dan berenang.

Macan Tutul Jawa adalah binatang karnivora yang memangsa buruannya seperti kijang, monyet ekor panjang, babi hutan, kancil dan owa jawa, landak jawa, surili dan lutung hitam. Kucing besar ini juga mampu menyeret dan membawa hasil buruannya ke atas pohon yang terkadang bobot mangsa melebih ukuran tubuhnya. Perilaku ini selain untuk menghindari kehilangan mangsa hasil buruan, selain itu juga untuk penyimpanan persediaan makanan.

Meskipun masa hidup di alam belum banyak diketahui tetapi di penangkaran, Macan tutul dapat hidup hingga 21-23 tahun. Macan tutul yang hidup dalam teritorial (ruang gerak) berkisar 5 – 15 km2. Bersifat soliter, tetapi pada saat tertentu seperti berpasangan dan pengasuhan anak, macan tutul dapat hidup berkelompok. Macan tutul jantan akan berkelana mencari pasangan dalam teritorinya masing-masing, di mana tiap daerah tersebut ditandai dengan cakaran di batang kayu, urine maupun kotorannya.

Macan tutul betina umumya memiliki anak lebih kurang 2-6 ekor setiap kelahiran dengan masa kehamilan lebih kurang 110 hari. Menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun. Anak macan tutul akan tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan anak, kadang-kadang macan tutul jantan membantu dalam hal pengasuhan anak.

Macan Kumbang Adalah Macan Tutul. Meskipun mempunyai warna tubuh yang berbeda, hitam, namun Macan Kumbang pun subspesies yang sama dengan Macan Tutul. Variasi warna tubuh tersebut bukanlah menjadikan macan tutul yang bertubuh hitam tersebut adalah subspesies yang lain, tetapi sesungguhnya sub spesies yang sama. Terbukti keduanya dapat kawin dan menghasilkan keturunan yang berwarna tutul dan berwarna hitam.

Macan Tutul Jawa berbulu hitam biasa disebut Macan Kumbang

Warna pada Macan Kumbang tidaklah sepenuhnya hitam. Ada tutul-tutul yang berwarna lebih gelap dibandingkan warna dasar. Macan tutul hitam (Macan Kumbang) selain menjadi varian dari Macan Tutul Jawa juga banyak dijumpai pada Macan Tutul di India. Para ahli menduga perbedaan warna tersebut disebabkan oleh pigmen melanistik.

Konservasi Macan Tutul Jawa. Kucing besar ini termasuk satwa yang dilindungi dari kepunahan di Indonesia berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999. Oleh IUCN Red list, Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) digolongkan dalam status konservasi “Kritis” (Critically Endangered). Selain itu juga masuk dalam dalam CITES Apendik I yang berarti tidak boleh diperdagangkan.

Jumlah populasi Macan Tutul Jawa tidak diketahui dengan pasti. Data dari IUCN Redlist memperkirakan populasinya di bawah 250 ekor (2008) walaupun oleh beberapa instansi dalam negeri terkadang mengklaim jumlahnya masih di atas 500-an ekor.

Populasi Macan Tutul Jawa ini tersebar di beberapa wilayah yang berbeda seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Gede, Hutan Lindung Petungkriyono Pekalongan, dan TN. Meru Betiri Jawa Timur.

Subspesies Macan Tutul. Di seluruh dunia terdapat 9 subspesies Macan Tutul. Selain Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) yang endemik pulau Jawa terdapat 8 subspesies lainnya yaitu;

* Panthera pardus pardus: Afrika
* Panthera pardus nimr : Arab
* Panthera pardus saxicolor : Asia Tengah
* Panthera pardus kotiya: Sri Lanka
* Panthera pardus fusca: India
* Panthera pardus delacourii: Asia Selatan dan China bagian selatan
* Panthera pardus japonensis: China bagian utara
* Panthera pardus orientalis: Rusia, Korea dan China bagian tenggara

Harimau Jawa dan Harimau Bali kini telah tinggal belangnya saja. Apakah kita rela jika Macan Tutul Jawa yang menjadi kucing besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa ini ikut-ikutan punah dan hanya meninggalkan “tutulnya” saja hanya karena kekurangpedulian kita?.





Rusa Bawean (Axis kuhlii)
Binatang langka endemik pulau Bawean dengan populasi antara 250-300 ekor (2006).

Klasifikasi ilmiah: 
Kerajaan: Animalia; 
Filum: Chordata; 
Kelas: Mammalia; 
Ordo: Artiodactyla; 
Upaordo: Ruminantia; 
Famili: Cervidae; 
Upafamili: Cervinae; 
Genus: Axis; 
Spesies: Axis kuhlii. 
Nama binomial: Axis kuhlii 
(Müller, 1840)

Rusa Bawean (bahasa latinnya Axis kuhlii), merupakan satwa endemik pulau Bawean (Kab. Gresik, Jawa Timur) yang populasinya semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh IUCN Redlist, Rusa Bawean, yang merupakan satu diantara 4 jenis (spesies) Rusa yang dimiliki Indonesia ini, dikategorikan dalam “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “sangat terancam kepunahan”. Spesies Rusa Bawean ini juga terdaftar pada CITES sebagai appendix I. Dalam bahasa inggris disebut sebagai Bawean Deer.

Ciri-ciri dan Habitat Rusa Bawean. Rusa Bawean memiliki tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan Rusa jenis lainnya. Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai tinggi tubuh antara 60-70 cm dan panjang tubuh antara 105-115 cm. Rusa endemik Pulau Bawean ini mempunyai bobot antara 15-25 kg untuk rusa betina dan 19-30 kg untuk rusa jantan.

Selain tubuhnya yang mungil, ciri khas lainnya adalah memiliki ekor sepanjang 20 cm yang berwarna coklat dan keputihan pada lipatan ekor bagian dalam. Tubuhnya yang mungil ini menjadikan Rusa Bawean lincah dan menjadi pelari yang ulung.

Warna bulunya sama dengan kebanyakan rusa, cokelat kemerahan kecuali pada leher dan mata yang berwarna putih terang. Bulu pada Rusa Bawean anak-anak memiliki totol-totol tetapi seiring bertambahnya umur, noktah ini akan hilang dengan sendirinya.

Sebagaimana rusa lainnya, Rusa Bawean jantan memiliki tanduk (ranggah) yang mulai tumbuh ketika berusia delapan bulan. Tanduk (ranggah) tumbuh bercabang tiga hingga rusa berusia 30 bulan. Ranggah rusa ini tidak langsung menjadi tanduk tetap tetapi mengalami proses patah tanggal untuk digantikan ranggah yang baru. Baru ketika rusa berusia 7 tahun, ranggah (tanduk rusa) ini menjadi tanduk tetap dan tidak patah tanggal kembali.


Rusa Bawean merupakan nokturnal, lebih sering aktif di sepanjang malam. Dan mempunyai habitat di semak-semak pada hutan sekunder yang berada pada ketinggian hingga 500 mdpl. Mereka sangat hati-hati, dan muncul untuk menghindari kontak dengan orang-orang; di mana aktivitas manusia berat, rusa menghabiskan hari di hutan di lereng-lereng curam yang tidak dapat diakses oleh penebang kayu jati.

Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai masa kehamilan antara 225-230 hari dan melahirkan satu anak tunggal (jarang terjadi kelahiran kembar). Kebanyakan kelahiran terjadi antara bulan Februari hingga Juni.

Populasi dan Konservasi Rusa Bawean (Axis kuhlii). Di habitat aslinya, Rusa Bawean semakin terancam kepunahan. Pada akhir 2008, peneliti LIPI menyebutkan jumlah populasi rusa bawean yang berkisar 400-600 ekor. Sedang menurut IUCN, satwa endemik yang mulai langka ini diperkirakan berjumlah sekitar 250-300 ekor yang tersisa di habitat asli (2006).

Karena populasinya yang sangat kecil dan kurang dari 250 ekor spesies dewasa, IUCN Redlist sejak tahun 2008 memasukkan Rusa Bawean dalam kategori “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “sangat terancam kepunahan”. Selain itu CITES juga mengategorikan spesies bernama latin Axis kuhlii ini sebagai “Appendix I”

Semakin langka dan berkurangnya populasi Rusa Bawean (Axis kuhlii) dikarenakan berkurangnya habitat Rusa Bawean yang semula hutan alami berubah menjadi hutan jati yang memiliki sedikit semak-semak. Ini berakibat pada berkurangnya sumber makanan.

Penurunan jumlah populasi ini mendorong berbagai usaha konservasi diantaranya pembentukan Suaka Margasatwa Pulau Bawean seluas 3.831,6 ha sejak tahun 1979. Selain itu untuk menghindari kepunahan sejak tahun 2000 telah diupayakan suatu usaha penangkaran Rusa Bawean (Axis kuhlii).





Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Populasinya tinggal 7300 ekor pada tahun 2004

Orangutan Sumatra (Pongo abelii) adalah spesies orangutan terlangka. Orangutan Sumatra hidup dan endemik terhadap Sumatra, sebuah pulau yang terletak di Indonesia. Mereka lebih kecil daripada orangutan Kalimantan. Orangutan Sumatra memiliki tinggi sekitar 4.6 kaki dan berat 200 pon. Betina lebih kecil, dengan tinggi 3 kaki dan berat 100 pon.

Selain Orang Utan sumatera, Indonesia punya juga jenis orang utan di kalimantan atau dikenal dengan nama (Pongo pygmaeus)





Cegahlah Satwa Asli Indonesia dari Kepunahan