Friday, February 3, 2012

Balada Suku Suku Pedalaman

He . . . . . ya y a ya he ya ho . . . . . . He . . . . . ya y a ya ho ya he . . . . . . Balada orang-orang pedalaman He . . . . . ya y a ya he ya ho . . . . . . He . . . . . ya y a ya ho ya he . . . . . . Di hutan di gunung dan di pesisir He . . . . . ya y a ya he ya ho . . . . . . Manusia yang datang dari kota Tega bodohi mereka Lihat tatapannya yang kosong, Tak mengerti apa yang terjadi ...

Itulah sepenggal lirik lagu Iwan Fals yang sesuai dengan postingan kali ini. Ada lebih dari 150 suku-suku terasing di dunia yang memilih untuk tidak melakukan kontak dengan dunia luar. Sayangnya pilihan mereka sering dilanggar secara semena mena oleh kita yang mengaku lebih berbudaya dan beradab.

Bagi suku-suku di hutan amazon yang mengisolasi diri dari dunia luar ini, memandang orang luar yang membawa  pesawat dan peralatan untuk merekam mereka, akan membuat mereka marah, karena mereka pernah di bantai dengan kejam dari pesawat yang melempari mereka dengan dinamit. Tak mengherankan jika mereka terkejut dan marah serta mengarahkan senjata2 mereka untuk mengusir pesawat. Mereka tidak tahu yang berada di pesawat adalah para ilmuwan, bukan perambah hutan ataupun penambang. Jika itu yang terjadi, maka kisah tragislah yang akan terjadi.


Apakah ini suku yang 'hilang' atau baru 'ditemukan' ?

Bukan, itu sensasi kosong. Hari ini sangat tidak mungkin ada suku yang keberadaannya sama sekali tidak diketahui oleh orang lain. Suku terasing dalam foto ini telah dimonitor oleh pemerintah Brazil selama 20 tahun, dan tinggal di daerah yang kemudian dijadikan reservasi untuk melindungi suku-suku terasing (uncontacted) macam mereka.

Apa yang dimaksud dengan 'terasing'?

Masyarakat yang tidak memiliki kontak damai dengan siapa pun dalam masyarakat mainstream atau dominan. Ada sekitar 150 suku terasing di dunia.


Siapa suku terasing pada foto-foto ini?

Banyak suku di daerah ini mengalami kekejaman 'boom karet' seratus tahun yang lalu, ketika karet liar menjadi komoditas penting internasional. Banyak tewas atau meninggal karena penyakit. Namun beberapa berhasil melarikan diri lebih dalam ke hutan. Orang-orang Indian terasing yang hidup di sini hari ini kemungkinan adalah keturunan dari orang orang yang selamat dari tragedi bom karet


Mengapa mereka mencat tubuh mereka?

Suku Amerika Selatan banyak menggunakan cat tubuh sebagai dekorasi dan untuk alasan lain. Cat Merah (dikenal sebagai urucum) terbuat dari biji semak annatto. Masyarakat adat menggunakannya untuk hal-hal seperti warna tempat tidur gantung dan keranjang, serta kulit mereka. (zat ini ini juga digunakan sebagai pewarna oleh industri makanan.) Banyak suku-suku Amazon membuat pewarna hitam dari tanaman genipapo. Beberapa juga menggunakan arang. Hitam dapat digunakan untuk sinyal permusuhan. Seperti suku-suku lain di kawasan itu, para pria telah mencukur dahi mereka dan memiliki rambut panjang.

Bagaimana mereka bisa didokumentasikan jika mereka terasing?

Ototiras Brazil telah memantau kelompok Indian terasing selama bertahun-tahun dari udara. yang digunakan untuk mengumpulkan bukti invasi dari tanah mereka.

Indian tentu mendengar suara pesawat sebelum pesawat terlihat. Mereka mengenal pesawat, karena banyak pesawat yang lewat di atas mereka selama bertahun-tahun, dari jet komersial sampai pesawat ringan milik misionaris, prospectors dan otoritas pemerintah seperti FUNAI.

Bagaimana orang-orang hidup? Apa yang mereka makan? Makanan apa yang terlihat di keranjang?


Mereka mungkin hidup dalam cara yang mirip dengan banyak Indian Amazon lainnya. Mereka telah menanam kebun sayur besar untuk buah dan sayuran, dan ubi kayu, jagung, ubi jalar, labu, kacang tanah, pepaya, serta pisang, semua dapat diidentifikasi. Mereka juga menanam kapas yang dipintal dan ditenun untuk rok. Para pria memiliki pita pinggang kapas dan beberapa memiliki gaun kepala kecil. Para pria membawa busur dan anak panah untuk berburu - mungkin tapir, babi hutan, rusa dan kera. Tidak ada kano yang terlihat (banyak suku Amazon tidak menggunakannya), tapi mereka mungkin menangkap ikan juga.

Keranjang yang dibuat untuk menyimpan sayuran dan ikan. (Di sebelah kiri foto ada setumpuk ubi kayu atau kentang manis, keranjang dengan tutup tergeletak di tanah penuh dengan pepaya.. Di pintu masuk ke rumah dua keranjang, satu menunjukkan tali tas. Keranjang sebelah kanan menunjukkan umbi yang dikupas - mungkin ubi kayu lain ditutupi dengan daun pisang untuk melindungi makanan di dalam)

Bagaimana kesehatan dan kesejahteraan mereka?

Tampaknya sangat baik. Dalam foto-foto diatas orang Indian terlihat kuat dan sehat serta kebun mereka penuh dengan produk.


Mengapa foto dan rekaman video ini dirilis?

Berbagai pejabat pemerintah di Peru dan Brazil menolak keberadaan suku terasing dan menuduh organisasi masyarakat adat dan pecinta lingkungan mengada-ada tentang keberadaan mereka. Foto-foto ini memberikan bukti jelas dan meyakinkan bahwa suku-suku terasing memang ada. Banyak orang menyadari pentingnya menggunakan foto dan rekaman untuk membujuk pemerintah untuk melindungi tanah masyarakat suku terasing ' dan menegakkan hak-hak mereka.

Apa tujuan berikutnya yang ingin dicapai?
Kelangsungan hidup suku suku terasing ini, dengan meluncurkan kampanye mendesak dan menyerukan kepada pemerintah Peru untuk mengusir semua penebang liar yang beroperasi di tanah Indian terasing di Peru.



Banyak dari suku yang saat ini terasing, sebenarnya adalah yang selamat (atau keturunan dari yang selamat) dari kekejaman masa lalu. Tindakan - pembantaian, wabah penyakit, kekejaman yang mengerikan - yang terukir ke dalam memori kolektif mereka, dan bagi mereka sekarang kontak dengan dunia luar harus dihindari semaksimal mungkin.

Sebagian besar orang Indian yang terisolasi Amazonia Barat, misalnya, adalah keturunan yang selamat dari bom-bom karet yang melanda wilayah ini pada akhir abad 19, memusnahkan 90% dari penduduk Indian dalam gelombang perbudakan dan kebrutalan yang mengerikan.

Suku Awa dan jalan yg dibuat oleh perambah hutan
Lainnya adalah korban pembunuhan yang lebih baru. Orang-orang Amazon yang dikenal sebagai 'Cinta Larga' ['sabuk lebar'] mengalami serangan ganas dan mengerikan di tangan penyadap karet Brasil antara tahun 1920-an dan 1960-an. Satu insiden yang terkenal, 'pembantaian paralel ke-11' di tahun 1963, terjadi di hulu sungai Aripuanã dimana perusahaan dari Arruda, Junqueira & Co sedang mengumpulkan karet.

Kepala perusahaan, Antonio Mascarenhas Junqueira, merencanakan pembantaian, karena menganggap indian Cinta Larga menghalangi kegiatan komersialnya. Dalam pidatonya kepada anak buahnya, dia berkata: "Mereka adalah parasit yang memalukan. Sekarang waktunya untuk membereskannya, sekarang waktunya untuk membasmi hama. Mari kita likuidasi para gelandangan ini. "

Dia menyewa sebuah pesawat kecil, kemudian menjatuhkan batang-batang dinamit ke desa Cinta Larga dari pesawat. Setelah itu, beberapa anak buahnya yang berjalan kaki untuk menghabisi orang orang yang masih mereka temukan - seorang bayi yang sedang disusui ibunya, mereka tembak dua-duanya dikepala dan kemudian menggantung kepala-kepala yg sudah mereka potong. Hakim di pengadilan salah satu terdakwa mengatakan, 'Kami tidak pernah mendengar kasus di mana ada begitu banyak kekerasan, begitu banyak aib, egoisme dan kebiadaban serta tidak adanya penghargaan terhadap nyawa manusia.'

Pada tahun 1975 salah satu pelaku, Jose Duarte de Prado, dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, namun setahun kemudian mendapat ampunan. Dia menyatakan selama persidangan, 'Membunuh Indian adalah tindakan yang baik. Mereka pemalas dan pengkhianat'


Pembukaan hutan juga telah menghancurkan hampir seluruh tanah suku Akuntsu di Peru. Suku ini dianggap menghambat 'kemajuan', karena tanah mereka berada pada rencana pembukaan hutan untuk eksplorasi minyak. Nasib suku ini kemudian berakhir cukup tragis.

Tidak ada yang dapat berbicara bahasa mereka, sehingga rincian tepat dari apa yang terjadi pada mereka tidak pernah diketahui. Tetapi ketika agen dari departemen urusan Indian, Brasil  FUNAI menghubungi mereka pada tahun 1995, mereka menemukan bahwa pembuka-pembuka hutanlah yang telah mengambil alih tanah suku akuntsu dan 'telah membantai hampir semua anggota suku, serta membuldoser rumah rumah mereka untuk mencoba untuk menutupi pembantaian.

Hanya beranggotakan lima orang inilah suku Akuntsu sekarang.
Hanya lima Akuntsu bertahan hidup. Salah seorang pria, Pupak, masih memiliki peluru bekas tembakan di punggungnya, dan juga mimes yang selamat dari orang-orang bersenjata yang mengejarnya dengan menunggang kuda. Ia dan sekelompok kecil yang selamat kini tinggal sendirian di sebuah fragmen hutan - Hanya lima orang yang tersisa dari suku Akuntsu.

Yang lebih mencengangkan adalah suku-suku yang telah lama terisolir dari dunia luar ini tidak memiliki kekebalan tubuh seperti mereka yang datang dari dunia luar. Beberapa suku terasing di amazon menghadapi kepunahan hanya karena penyakit seperti influenza, malaria dan gangguan pernafasan yang dibawa oleh pendatang dari dunia luar, seperti misionaris dan pekerja-pekerja tambang/kebun. Hal tersebut telah terjadi pada suku Zo’é dan Murunahua di Peru.

suku Zo’é yg mulai berkembang kembali
Memang kontak dengan suku suku terasing ini dapat berakibat sangat fatal, baik bagi mereka maupun bagi orang luar. Ada beberapa ilmuwan yang mencoba meneliti dan beberapa misionaris juga tewas terbunuh. Oleh karena itu harapan/ atau keinginan suku suku indian ini untuk tetap 'sendiri' di alam mereka haruslah di hormati.

Di Indonesia, selain di papua, juga banyak kita jumpai keserakahan atas nama pembangunan, menggusur suku-suku yang memilih untuk menolak budaya lain selain budaya mereka sendiri. salah satunya adalah suku anak dalam atau suku kubu.

Suku Anak Dalam, Jambi
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Versi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.

Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.

Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” kata seorang suku anak dalam.

Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.

Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.

Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba: Bertubuh onggok//berpisang cangko//beratap tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu. Ada lagi: berkambing kijang// berkerbau tenu//bersapi ruso. Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.

Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.

Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang—sebutan untuk masyarakat di desa. Mereka membuat seloka tentang orang terang: berpinang gayur//berumah tanggo//berdusun beralaman//beternak angso.

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.

Kisah ini tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.

Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba TNBD, menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.

Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.

Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.

Disebut “kubu”
Keterputusan hubungan dengan peradaban di luar rimbalah yang membuat cara hidup mereka masih kubu. Rimba selalu disebut kubu alias terbelakang, sedangkan kelompok lain lebih maju? Karena terputus hubungan dengan peradaban di luar rimba, cara hidup mereka kubu.

Menurut salah seorang warga SAD, seringkali orang terang (di luar rimba) mencemooh karena anggapan bahwa mereka bodoh, tidak beradab, dan kudisan. Saat berhubungan dengan orang terang, Orang Rimba kerap ditipu.

Perselisihan antara Orang Rimba dan orang terang sudah sejak lama terjadi. Perang pertama yang sekaligus menandai ketegangan di antara mereka adalah dari masa leluhur. Moyang Segayo kelaparan di rimba, dan mengambil padi di sawah milik penduduk desa. Terjadilah pertengkaran, berujung perang terbuka di Pancuran Darah. Moyang Segayo lari ke bukit dan menggulingkan balok-balok kayu, hingga mematikan penduduk desa setempat. Hanya satu orang desa selamat dan melarikan diri. Pada satu kesempatan berhasil membalaskan dendamnya pada Moyang Segayo, dengan menggorok isi perut sampai mati. Sejak itu terbentang jarak antara Orang Rimba dan orang desa.

Sampai kini mereka sendiri mengakui bahwa perilaku mereka (Orang Rimba) umumnya masih terbelakang. Meski demikian, mereka merasa nyaman, dan akan mempertahankan cara hidup seperti itu. “Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh,” kata salah seorang Orang Rimba mengenai adat rimba. Namun, Orang Rimba juga merasa terhina jika disebut-sebut kubu. “Seperti dianggap anjing, jika orang terang menyebut kami orang kubu. Jadi, jangan sebut kami kubu, karena kami benci sebutan itu,” kata mereka.
_______________________________________________________________________________________________

Yang mana yang lebih berbudaya? orang luar yang memaksakan kehendak atau suku-suku ini yang memilih untuk tidak terganggu? Yang mana yang lebih beradab? orang luar yang mengeksploitasi hutan secara berlebihan, atau suku-suku ini yang mengambil hasil hutan sesuai dengan kebutuhan mereka? Yang mana yang lebih baik menurut agama, kesahajaan atau keserakahan?


Baca juga:








Source: Dari berbagai sumber