Wednesday, April 23, 2014

Sogdiana - Bangsa "Hilang" yang Pernah Menguasai Jalan Sutera

Hari ini, kota Samarkand di Uzbekistan relatif terpencil, meskipun masih dikenal terutama untuk reruntuhan abad pertengahan yang megah. Tapi lebih dari seribu tahun yang lalu, kota ini adalah salah satu kota terkaya di jalur perdagangan yang sangat terkenal, yang dikenal sebagai Jalan Sutra atau Silk Road. Sedangkan di di tahun 600 an M, rute hanya disebut hanya "Jalan Menuju Samarkand."


Orang Sogdiana, penggambaran pada sarkofagus Sogdiana Cina dari era Qin Utara.

Budaya Samarkhand adalah hibrida dari pengaruh Iran dan Cina, agama disini juga dahulu juga campuran Zoroastrianisme dan tradisi-tradisi lain, dan kota ini milik sebuah kelompok etnis yang sekarang lenyap yang disebut Sogdians (Sogdiana).



Jalan Menuju Samarkan (Road to Samarkand)
Sudah berabad-abad berlalu sejak Jalan Sutra masih digunakan sebagai rute perdagangan utama, tetapi legenda ini tetap hidup. Baru-baru ini, sekelompok programmer menggunakan nama Silk Road untuk situs perdagangan online bitcoin anonim yang mengkhususkan diri dalam barang-barang ilegal. Ini cukup berbahaya, demikian juga jalan sutra masa lalu.


Banyak bagian dari rute jalan sutera yang sangat berbahaya, berkelok-kelok melalui pegunungan terjal dan jurang, serta menyusuri panasnya gurun Taklamakan di tepi barat China. Kafilah besar kadang-kadang tewas dalam tanah longsor dan badai pasir, atau dibunuh oleh geng perampok di daerah terpencil. Ada beberapa kota yang kaya di sepanjang jalan, dan kuil-kuil bertatahkan permata. Hampir semuanya bisa ditemukan dan di beli di sepanjang rute, mulai dari jubah sutra hingga narkoba dan budak.

Namun dalam kenyataannya, tidak hanya ada satu "jalan sutra". Rute perdagangan di lempeng Eurasia ini bercabang ke berbagai arah. Cabangnya ada yang mengarah jauh ke India, Timur Tengah, Asia Tengah dan China pesisir, lalu melompat ke seberang lautan ke Jepang dan Korea di satu sisi, dan ada yang melintasi Laut Arab antara India, Afrika dan Eropa di sisi lain.

Istilah "Silk Road" dipopulerkan oleh penjelajah Eropa pada abad kesembilan belas. Ilmuwan Jerman Ferdinand von Richthofen menciptakan istilah ini pada tahun 1877, ketika mencoba untuk menyusuri jalur yang terkikis waktu, setelah ekonomi dunia telah bergantung pada rute pengiriman laut. Juga, jalur ini tidak begitu dikenal oleh orang eropa, sampai Marco Polo menulis tentang perjalanannya pada abad ketiga belas. (Polo mungkin bukan orang eropa pertama yang melakukan hal ini, tetapi account-nya mempopulerkan ide dan menyebabkan lebih banyak orang eropa yang melakukan perjalanan)

Tapi bagi kebanyakan penduduk lokal, Jalan Sutra hanya sistem jalan raya setempat. Mereka menggunakan rute untuk pergi dari satu kota ke kota lain, dan lebih sedikit yang menggunakannya untuk menyeberangi perbatasan antara kerajaan.

Seperti yang dijelaskan sejarawan Yale Valerie Hansen dalam bukunya The Silk Road: A New History, sebagian besar orang yang tinggal di sepanjang rute akan menyebutnya "jalan ke kota berikutnya." Sering kali orang menyebutnya sebagai "jalan menuju Samarkand," karena Samarkand merupakan salah satu kota terkaya dan paling terkenal pada rute. Jika Anda melihat peta di atas, Anda juga dapat melihat bahwa Samarkand jatuh pada titik tengah antara Iran, India dan Asia Tengah. Jadi kota ini menjadi tengara yang diketahui banyak kelompok di daerah sekitarnya. Akibatnya bahasa Sogdian, bahasa Samarkand dan sekitarnya, adalah lingua franca di sepanjang rute perdagangan yang mengarah ke timur menuju Cina.



Sutera, Budak dan Imigran
Sutera berwarna yang dibuat sekitar 700-800 M.

Mitos lain tentang Silk Road adalah bahwa yang dijual di sepanjang rute adalah sutera. Tentu sutra adalah komoditas utama, tapi sebagian besar digunakan sebagai uang (alat tukar). Kita tahu bahwa prajurit-prajurit penguasa lokal dibayar/ digaji dengan sutra, dan pedagang merasa jauh lebih mudah untuk membawa gulungan kain lembut ini daripada koin berat yang digunakan pada saat itu. Komoditas populer lainnya di Jalur Sutra juga (tidak mengherankan karena ringan) adalah: permata, rempah-rempah, musk, manuskrip, mineral, kaca, obat-obatan, dan berbagai tekstil.

Mungkin hal yang paling berharga yang dibawa bepergian sepanjang rute sutra adalah makhluk hidup. Orang Cina menempatkan nilai tinggi pada kuda yang kuat, sehat yang dipelihara oleh kelompok-kelompok nomaden yang memerintah stepa utara. Budak juga dibeli dan dijual di sepanjang rute. Salah satu dari beberapa dokumen yang masih ada sampai sekarangi di Sogdian adalah kontrak pernikahan dari tahun 700-an awal, yang berisi pasal yang membebaskan suami dan istri dari kewajiban mereka satu sama lain jika salah satu pihak merasa diperbudak. Ini luar biasa, karena hukum seperti ini telah ada di masa ketika perbudakan merupakan hal yang biasa di kehidupan sehari-hari. Konflik selalu terjadi lebih banyak di rute perdagangan dan wilayah sekitarnya. Dan ini dapat menaikkan atau menjatuhkan kedudukan dan nasib seseorang hanya dalam semalam, mengubah bangsawan kaya menjadi gembel dan sebaliknya.

Hansen juga berpendapat, Jalan Sutra mengubah dunia tidak dalam hal membawa sutra ke barat, atau kaca ke timur - sebaliknya, membawa imigran ke dan dari seluruh penjuru dunia. Dan dengan mereka datanglah ide-ide baru, penemuan-penemuan ilmiah baru, dan aliansi politik baru antara kelompok-kelompok yang berjauhan. Jadi yang paling umum digunakan untuk Silk Road adalah imigrasi, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin mendirikan pos-pos perdagangan atau melarikan diri dari penjajah. Suku Sogdian, yang kekayaan mereka mengakar secara luas di kota dagang Samarkand, juga adalah komunitas imigran terbesar Jalan Sutra itu.



Lahir Dengan Madu pada Mulut dan Lem di Tangan
Samarkand adalah sebuah kota kuno, mungkin didirikan oleh kelompok-kelompok yang datang dari Iran di 700an SM. Dibangun di atas bukit, dikelilingi oleh peternakan subur dan kebun. Kota ini kemudian ditaklukkan oleh Alexander di tahun 329 SM. Sekitar 600 tahun kemudian, ia ditaklukkan oleh dinasti Sasanid dari Iran. Meskipun kemudian kota ini diklaim bangsa-bangsa lain, mulai dari Turki hingga dinasti Tang China, kota ini tidak hancur oleh konflik-konflik yang mendidih di sekitarnya. Sebaliknya, kota ini justru tumbuh besar dan makmur.

Itu mungkin karena Samarkand membuka pintu untuk siapa saja yang mematuhi hukum perdagangan. Pasar kota itu terkenal dengan keragaman barang: Anda bisa membeli sesuatu dari penerjemah bahasa hingga budak seks. Para pengrajin kota terkenal karena kertas dan sutra yang mereka hasilkan. Ini adalah kota perdagangan dan industri, yang reputasinya menyebar karena suku Sogdians sering berimigrasi ke kota-kota perdagangan penting lainnya di Cina Barat seperti Dunhuang dan Chang'an (sekarang Xi'an). Kemanapun mereka pergi, suku Sogdians membangun lingkungan etnis yang hari ini mungkin akan kita namai "Samarkand Kecil" atau "Sogdiatown"

Reputasi Suku Sogdians dalam berdagang menjadi sangat terkenal. Sejarawan yang menyusun Buku "New Book of Tang, an official chronicle of the Tang Dynasty" yang selesai pada tahun 1060, menggambarkan pandangan Cina untuk suku Sogdians seperti ini:

Ketika mereka melahirkan anak laki-laki, mereka menempatkan madu di mulutnya dan lem di telapak tangannya sehingga ketika dia tumbuh, ia akan berbicara kata-kata manis dan koin yang dipegang di tangannya akan terus menempel di sana ... Mereka paandai berdagang, mencintai keuntungan, dan merantau ke luar negeri pada usia dua puluh. Mereka akan ada dimana keuntungan dapat ditemukan.

Gambaran diatas tidak persis begitu, juga tidak bermaksud menyanjung.

Pada awal abad kedua puluh, seorang arkeolog bernama Aurel Stein tengah menjajaki beberapa jalur perdagangan yang terpencil yang membentang pada rute perdagangan di Cina Barat. Di luar Dunhuang, ia menemukan kotak surat yang berisi 8 surat yang relatif terawat baik. Surat-surat itu ditulis dalam bahasa Sogdian - bahasa yang tak seorang pun di dunia modern yang pernah melihat sebelumnya - dan ditujukan kepada Samarkand.


Dua dari surat-surat itu dikirim oleh seorang wanita Sogdian miskin, Miwnay, ditujukan kepada ibunya (digambarkan di atas) menceritakan suaminya yang telah meninggalkannya di lingkungan Sogdian di Dunhuang. Dia tidak punya uang, dan mengatakan kepada ibunya dia telah menjadi mengemis. Tidak ada yang membantunya kecuali "pendeta kuil" (yang kemungkinan Zoroaster) . Dia mengutuk suaminya, mengatakan dia lebih suka menikah dengan anjing atau babi.

Apa yang dapat ditangkap dari surat ini, selain fakta bahwa drama kehidupan adalah setua peradaban, adalah sejauh mana lingkungan etnis Sogdian sudah memiliki sejarah yang signifikan di kota-kota Cina. Miwnay adalah bagian dari komunitas Sogdian yang ada di Dunhuang, meskipun dari kota asalnya ke Dunhuang harus melintasi gurun pasir yang luas.

Keberhasilan Sogdians bukan karena mereka dibesarkan dengan madu dan lem. Mereka menciptakan jaringan perdagangan yang sangat luas, menetap di kota-kota asing, dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat. Banyak yang menikah dengan penduduk setempat. Satu rumah Sogdian ditemukan di kota Chang'an - sering dianggap sebagai pintu gerbang Cina ke Jalan Sutera - menggambarkan campuran seni Cina dan Zoroaster, bersama dengan kuburan Cina diukir dengan gambar ritual api Zoroaster. Samarkand adalah kota yang jangkauan meluas jauh melampaui dinding-dinding kotanya.



Multikulturalisme Abad Pertengahan
Dari abad keenam hingga awal abad kedelapan, agama dan budaya Samarkand sangatlah beragam seperti orang-orang yang telah mengklaim kota sebagai milik mereka . Tradisi Zoroaster dan Manichean bercampur dengan agama Buddha, Kristen Nestorian mistis, Yudaisme dan agama-agama lokal yang menyembah dewa-dewa yang disembah bangsa Mesopotamia selama ribuan tahun. Sogdians tampaknya berurusan dengan multikulturalisme dan menambahkan lebih banyak dewa pada daftar mereka untuk beribadah, dan tidak melarang keyakinan luar yang masuk.

Namun pluralisme agama di kota ini hilang ketika kota ini ditaklukkan oleh panglima arab Qutaibah ibn Muslim di tahun 712. Kota yang tetap menjadi kota yang kaya, dengan budaya pasar yang berkembang dan beragam akhirnya ditaklukkan oleh bangsa Mongol pada abad ke 13. Beberapa warisan budaya campuran di Samarkand masih ada bahkan sampai hari ini. Orang-orang di Samarkand dan seluruh Asia Tengah masih merayakan Nauruz, festival musim semi tradisional Zoroastrian.

Mural diatas ini, yang ditemukan dalam sebuah penggalian dari Samarkand kuno, menunjukkan perayaan Nauruz ketika Zoroastrianisme masih banyak dipraktekkan.

Meskipun hanya ada sedikit sisa-sisa dari kota Samarkand pra-Islam, arkeolog baru-baru ini melakukan ekskavasi di kota terdekat yang disebut Panjikent, di Tajikistan, yang bertanggal kembali ke abad kelima. Kota panjikent ditinggalkan beberapa dekade setelah Arab menguasai Samarkand dan daerah sekitarnya pada awal abad kedelapan, dan dengan demikian memberi kita gambaran yang baik mengenai seperti apa kota-kota Sogdian terlihat sebelumnya dalam sejarah.

Satu rumah yang ditemukan, yang kemungkinan milik keluarga yang sangat kaya, memiliki lukisan dinding yang memberikan kita kilas menarik tentang bagaimana Sogdians dilihat dunia. Lukisan itu menggambarkan penguasa lokal, dikelilingi oleh para pedagang dari berbagai suku dari seluruh dunia, termasuk China dan Korea.


Banyak dari suku-suku yang digambarkan diatas mudah dikenali dari pakaian dan gaya rambut mereka - misalnya, Cina memakai rambut panjang mereka, sementara Sogdians mencukur kepala mereka dan mengenakan topi. Rumah lain memiliki dekorasi campuran kuil Buddha dengan kuil api Zoroaster .

Sodgians tidak hanya berdagang barang dengan tetangga mereka; mereka juga ikut menyebarkan agama. Sarjana studi agama, Richard Foltz menunjukkan dalam bukunya "Agama dan Jalan Sutra", bahwa Sogdians mungkin bertanggung jawab atas penyebaran Zoroastrianisme, Buddhisme dan kemudian Islam di seluruh Asia Tengah dan komunitas Cina di timur. Mereka membawa teks-teks Buddhis dari India ke China, dan ide-ide Manichean dari Iran ke suku-suku yang dikenal sebagai Uighur di Asia Tengah Utara.

Saat ini masih ada dan masih berkembang komunitas Islam dan Kristen di Cina barat, banyak dari mereka yang mungkin jika dirunut asal usulnya akan kembali ke suku-suku yang terpelajar, pedagang petualang yang berasal dari Iran dan menetap di kota yang indah di sebuah bukit yang disebut Samarkand.



Pemberontakan An Lushan
An Lushan dan adegan dari salah satu pertempuran berdarah.

Ketika Samarkand ditaklukkan oleh pasukan Arab pada awal abad kedelapan, banyak hal berubah secara dramatis untuk Sogdians. Para pemimpin baru kota menawarkan keringanan pajak bagi siapa saja yang masuk Islam, dan membuatnya sangat sulit bagi orang-orang yang menolak kesepakatan ini. Zoroastrian Sogdians meninggalkan kota bersama dengan siapa pun yang tidak suka rezim Arab yang baru, dan banyak yang menuju ke lingkungan Sogdian yang ramai di kota-kota Cina seperti Chang'an, ibukota Dinasti Tang.

Pemimpin militer yang terkenal An Lushan adalah anak dari salah satu gelombang imigran tersebut. Lahir dari orang tua Sogdian, ia dibesarkan di Cina, menjadi pemimpin militer yang luar biasa dan teman dekat Kaisar Xuanzong di Chang'an, dan akhirnya memulai salah satu perang paling mematikan dalam sejarah di tahun 755 . Setelah membangun pasukannya sendiri, An Lushan menguasai beberapa kota di Cina dan membunuh jutaan orang. An Lushan kemudian menyatakan dirinya kaisar baru suatu wilayah dan dinastinya ia dijuluki dinasti Yan. An Lushan memerintah dengan kejam tanpa ampun selama beberapa tahun sebelum dinasti Yan jatuh di tahun 763 M.

Kaisar China hanya mampu merebut kembali wilayah Yan dari pasukan An Lushan dengan bantuan dari Uighur, kelompok nomaden yang telah membentuk kerajaan besar, diuraikan dalam warna merah di bawah ini, pada abad kedelapan.


Di bawah kekaisaran Uighur Anda dapat melihat wilayah Dinasti Tang, Cina. Setelah Uighur mengalahkan pasukan An Lushan, para tentara diizinkan untuk menjarah kota Chang'an sebagai hadiah atas usaha mereka. Ini akhir memalukan untuk pemerintahan An Lushan yang pada dasarnya juga menandai berakhirnya Sogdians sebagai kelompok etnis.

Untuk menumpas pemberontakan An Lushan, kaisar china melarang agama Sogdian seperti Zoroastrianisme, Manikeisme, Kristen dan bahkan Buddhisme (meskipun larangan Buddhisme cukup cepat dicabut). Sogdians yang selamat mengubah nama mereka untuk menyembunyikan latar belakang etnis mereka, tetapi masih sering dianiaya. Banyak yang melarikan diri dari kota-kota Cina di daerah dekat Chang'an, dan yang lain didorong oleh undang-undang baru yang membuat sulit bagi "orang asing" untuk hidup di kota-kota Cina - bahkan jika orang asing ini adalah Sogdians yang keluarganya telah berada di China untuk beberapa generasi.

Seiring waktu, budaya Sogdian yang telah mengendalikan Samarkand, mati sepenuhnya. Ada sebuah kelompok etnis kecil di Iran bagian timur di mana orang berbicara bahasa yang disebut Yaghnobi yang terkait dengan Sogdian. Tetapi suku yang pernah berpengaruh yang memerintah perdagangan di Jalur Sutra kini hampir tidak dikenal dunia. Kita hanya memiliki beberapa contoh tulisan dan seni mereka, dan pengetahuan mengenai Sogdians sebagian besar dari akun-akun seperti catatan sejarah Dinasti Tang yang menjelaskan bagaimana anak-anak mereka dibesarkan untuk menjadi serakah.

Tentu saja kota Sogdian, Samarkand tetap terus ada, dan menjadi saksi perubahan budaya dan kemakmuran selama berabad-abad. Demikian pula keturunan dari orang-orang Sogdians yang bersembunyi, dan kemudian melupakan identitas mereka sebagai Sogdians dan menganggap diri mereka sebagai Mongol atau Turki atau Cina atau apa pun untuk mengadopsi identitas bagi keluarga mereka yang memilih untuk bersembunyi di balik etnis lain.

Di banyak kota di Cina Barat hari ini, masih ada kelompok-kelompok Islam yang nenek moyang mereka mungkin Sogdian. Tapi sejarah budaya Sogdian mereka terhapus sepenuhnya di belakang pemberontakan An Lushan itu.

Soviet menghidupkan kembali istilah kuno "Uighur" di abad kedua puluh untuk merujuk pada kelompok etnis di Cina barat dan Asia Tengah yang berasal dari beberapa daerah yang sama dengan Sogdians abad kedelapan dan Uighur. Meskipun keturunan jauh dari Sogdians mungkin ada di antara bangsa-bangsa berlabel "Uighur" hari ini, Uighur tetap dikenal dengan nama sekutu lama China.








Source