Ada banyak blog dan situs di internet yang menceritakan kisah Nyi Rara Kidul atau Ratu Laut Selatan, namun banyak diantaranya yang tidak menjelaskan PERBEDAAN antara legenda suku Sunda dan legenda suku Jawa tentang Ratu Laut Selatan dan Nyi Roro Kidul sehingga banyak yang menjadi rancu.
Memang tidak diketahui dengan pasti sejak kapan legenda ini dikenal. Namun demikian, legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan mencapai tingkat tertinggi pada keyakinan yang dikenal di kalangan penguasa kraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) bahwa penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul, merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja di kedua kraton tersebut.
Mengapa justru pada masa Mataram Islam legenda ini menjadi sangat terkenal? Oke, baca terus postingan ini sampai habis.
Dibawah ini AMJG kumpulkan beberapa legenda tentang Nyi Roro Kidul menurut beberapa versi, baik versi sunda, maupun versi jawa.
Legenda Sunda: Putri yang Sakit
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang pergi ke laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Akhirnya putri ini menjadi penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat dengan wujud perempuan cantik. Tokoh ini disebut Nyi Rara Kidul. Pada perkembangannya masyarakat sunda cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul
Versi rakyat Pajajaran adalah sebagai berikut:
Suatu ketika pada masa Prabu Mundingwesi memerintah di Kerajaan Pajajaran, telah memiliki seorang anak perempuan cantik. Ia dinamai Putri Kadita atau Putri Srengenge. Namun Prabu Mundingwesi menginginkan anak laki-laki maka Raja pun menikah lagi dengan dewi Mutiara dan memiliki anak laki-laki.
Pada suatu ketika Dewi Mutiara berkata kepada sang Prabu bahwa kelak yang menjadi raja adalah anak hasil keturunannya dan supaya mengusir Kandita dari keraton, namun Prabu Mundingwesi menolaknya.
Akhirnya Dewi Mutiara menenung Kadita menjadi berwajah jelek dan berbisul serta bau. Di bawah pengaruh Dewi Mutiara dan Patihnya, Prabu Mundingwesi pun mengusir Putri Kadita dari keraton karena dikhawatirkan ia akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan. Dalam kondisi tersebut, Putri Kadita pergi tanpa tujuan.
Putri Kadita terus berjalan menuju selatan hingga sampai di Laut Selatan. Putri Kadita memandang laut tersebut, tiba-tiba ada suara yang menyuruhnya terjun kelaut. Putri Kadita langsung melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan. Saat berenang penyakitnya hilang seketika. Selain sembuh dan kembali cantik, ia juga beroleh kekuatan gaib serta menguasai Laut Selatan. Sejak itu ia disebut sebagai Nyi Loro Kidul (yang artinya loro = derita, kidul = selatan), atau Nyai Roro Kidul sang Ratu Penguasa Laut Selatan.
(Sholikhin, 2009 : 85-87).
Versi dari kalangan masyarakat Banten Kidul hampir mirip kisahnya, disebutkan bahwa gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan. diantaranya diceritakan sebagai berikut.
Diceritakan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari Prabu Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita, memiliki paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi kecantikan ibunya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Putri Kandita menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.
Sikap Prabu Siliwangi yang begitu menyayangi Putri Kandita telah menumbuhkan kecemburuan dari selir dan putra-putri raja lainnya. Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan persengkokolan di kalangan mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari sisi raja dan lingkungan istana Pakuan Pajajaran. Rencana tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam sehingga Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan bersih, timbul luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap (anyir). Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka meskipun masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas desakan selir dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir mereka dari istana Pakuan Pajajaran.
Mereka berdua keluar dari istana dan berkelana ke arah selatan dari wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama berkelana, Putri Kandita kehilangan ibunya yang meninggal dunia di tengah-tengah perjalanan. Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi sebuah aliran sungai. Tanpa ragu, ia kemudian meminum air sungai sepuas-puasnya dan rasa hangat dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia merendamkan dirinya ke dalam air sungai itu. Setelah merasa puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan bahwa tubuhnya kini mulai nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit boroknya itu tidak terlalu menyiksa dirinya.
Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah lama berjalan mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata air yang menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi tinggi tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu. Dalam kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan. Selama itu pula, Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di sungai itu. Tanpa disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang menghinggapi tubuhnya menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita meneruskan pengembaraan dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan ia sangat terpesona ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh karena itu, Putri Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah selatan dari Pakuan Pajajaran.
Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik dan sakti. Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai kerajaan ingin mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri Kandita mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran itu asalkan harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau tidak berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi pengiringnya. Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan
Legenda Jawa: Penguasa Laut Selatan & Dayangnya
Dalam kepercayaan suku Jawa, sosok Ratu Kidul BERBEDA dengan Rara Kidul. Kanjeng Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati dalam mitologi Jawa. Karena orang Jawa mengenal sebuah istilah "telu-teluning atunggal" yaitu tiga sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam.
Sedangkan Nyi Rara Kidul adalah pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.
Dalam kepercayaan Kejawen, yaitu kepercayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu dan sudah bercampur beberapa unsur Islam, dalam mitologi Jawa, alam kehidupan itu terbagi menjadi beberapa Tahap. Tahap pertama adalah alam Kadewan, kedua adalah alam Nabi, ketiga adalah alam Wali, keempat alam Menungsa (Manusia) dan yang akan datang adalah alam Adil. Pada mitologi Jawa, Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping telu yang kemudian mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi alam lainnya. Sedangkan Rara Kidul merupakan Putri dari Raja Sunda yang terusir oleh ayahandanya sendiri karena ulah dari ibu tirinya sendiri yang kemudian menjelma menjadi sosok penguasa di laut selatan setelah menceburkan diri di laut selatan. Dan cerita terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan beda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.
Menurut Babad Tanah Jawi (yang ditulis pada abad ke-18), menceritakan tentang adanya seorang raja yang memiliki putri bernama Ratna Suwinda, putri ini memiliki kegemaran bertapa, sehingga pangeran-pangeran yang meminangnya di tolak semua. Hal ini membuat sang Raja marah dan mengusirnya.
Ratna Suwinda mengembara bertujuan untuk mencari tempat yang cocok untuk bertapa, akhirnya sampailah di Gunung Kumbang dan bertapa dipuncak gunung tersebut, dipuncak gunung terdapat sebuah pohon cemara yang digunakan oleh Dewi Ratna Suwinda bila beralih rupa menjadi laki-laki dengan nama Hajar Cemoro Tunggal.
Ada seorang pangeran bernama Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia mendirikan sebuah kerajaan. Karena sang pertapa berubah menjadi seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan adik kakek Joko Suruh, bernama Ratna Suwinda, menolak cintanya. Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada si pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasanya secara bergantian (Sholikhin, 2009 : 88-89).
Legenda Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati
Sebelum Panembahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli (hanyut). Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya
Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai penguasa di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Kanjeng Ratu kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu kegiatan sebagai upacara untuk menghormati Sang Ratu. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan labuhan yang dilaksanakan di pantai selatan. Labuhan yang dilaksanakan oleh Raja Yogyakarta dilaksanakan di Parangtritis.
Versi Keraton Yogyakarta untuk Nyi Roro Kidul adalah putri (anak) dari seorang begawan bernama Abdi Waksa Geni. Ia berasal dari keluarga dengan dua bersaudara. Saudara kandungnya bernama Nawangsari, sedangkan nama dia yang sesungguhnya tidak diketahui. Awalnya, sewaktu masih menjadi manusia biasa putri ini adalah gadis yang buruk rupa. Sedangkan saudara kandungnya sangat cantik. Kondisi ini membuat sang putri merasa minder bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Karena ayahnya seorang abdi, maka ayahnya selalu mengingatkan ia untuk tidak bersikap demikian. Sebagai usaha menghilangkan perasaan minder itu, ayahnya meminta ia agar mandi dan bertapa di laut selatan. Pada saat mandi itulah ia didatangi oleh Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut selatan. Ratu Kidul menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik, dengan syarat dia harus mau diangkat menjadi pembantunya. Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Dan sejak itu dia dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul
Versi Keraton Solo tentang Kanjeng Ratu Kidul
(berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro)
Seorang Pangeran yang bernama Raden Panji Sekar Taji pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya. Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Untuk kerajaan surakarta, labuhan dilaksanakan di pantai Parangkusumo
Upacara menghormati Ratu Pantai Selatan juga dilakukan oleh masyarakat Jawa Timur yang memiliki daerah dengan batas Samudra Hindia atau Laut Selatan.
__________________________________________________________________________________________________
Seluruh Versi dari legenda Ratu Kidul Jawa maupun Rara Kidul Sunda seperti yang kita lihat diatas, banyak memiliki Kemiripan. Mungkin sebenarnya kisah-kisah ini asalnya dari satu kisah yang sama, yang kemudian diceritakan secara turun temurun dan ditambahi-tambahi dan diubah sesuai dengan kearifan lokal.
Nenek moyang suku-suku di pulau jawa dulunya menganut animisme-dinamisme dan hindu. Mereka percaya bahwa Laut selatan pulau jawa (samudera indonesia) yang lebih 'bergelora' daripada laut utara (laut jawa) menyimpan kekuatan mistis yang harus mereka hormati. Oleh karena itu mereka menciptakan seorang 'tokoh mistis' penguasa laut ini.
Nah kepercayaan seperti ini, telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan tentu cukup sulit untuk merubahnya secara langsung. Untuk merubah kepercayaan ini secara bertahap itulah, Sunan kalijaga justru memakai legenda ini untuk melegitimasi kerajaan islam yang baru berdiri di jawa tengah bagian selatan, yaitu Mataram. Maka dibuatlah kisah baru mengenai pertemuan antara Panembahan Senopati dengan kisah atau legenda yang sudah ada, yaitu Ratu Kidul. Kisah pertemuan ini tentu saja melegitimasi kerajaan Mataram yang baru, karena dikisah itu diceritakan bahwa raja mataram dari yang pertama dan selanjutnya sudah dan akan menjalin kesepakatan dengan penguasa pantai selatan.
Sunan Kalijaga |
Dan sebenarnya kisah tentang adanya perkawinan antara Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati dan raja-raja mataram selanjutnya, mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.
Dengan berdirinya kerajaan islam yang rajanya juga muslim, Sunan Kalijaga berharap merubah secara bertahap keyakinan masarakat jawa yang sudah ada ratusan tahun dengan cara yang damai. Namun sayang seribu sayang, Sunan Kalijaga tetap manusia yang juga memiliki ajal. Beliau meninggal sebelum perubahan yang diharapkannya terlaksana sepenuhnya. Dan celakanya lagi, tidak ada yang meneruskan skenario islamisasi damainya di jawa, sehingga sampai sekarang di jawa ada kelompok Islam Kejawen yang merupakan sinkritisme dari hindu dan islam. Kejawen ini adalah bukti dari islamisasi sunan kalijaga yang belum terselesaikan, hal yang mirip juga terjadi di lombok, sehingga ada kelompok sholat wektu telu.
Satu hal lagi, di sepanjang pantai selatan pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau, karena dikatakan siapa yang memakai warna hijau dapat menjadi sasaran Nyai Rara Kidul untuk dijadikan tentara atau pelayannya (budak).
Mungkin larangan ini sebenarnya berasal dari Sunan Kalijaga sendiri dengan maksud membuat larangan awal dan simbolik kepada muslim (hijau adalah warna disukai Rasul) untuk ikut upacara-upacara sesembahan seperti larung dan labuhan di pantai selatan ini.
Wallahualam
Source: